Minggu, 06 Juni 2010

kebudayaan

DUNIA saat ini tengah ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "dunia konsumerisme". Pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Kehidupan manusia di dunia yang transparan ini harus mempunyai visi yang tepat tentang kecenderungan hidup (the inclination of life) dengan kesadaran positif dan kritis akan adanya kompleksitas struktur permasalahan yang menggejala di sekitar kita.

Seiring dengan itu, kini makin tinggi gejala konsumerisme yang ditandai dengan maraknya dunia industri, menawarkan berbagai macam produk baru untuk kita konsumsi tanpa batas. Dengan menggunakan media televisi, koran, majalah, dan radio untuk mengepung khalayak dalam konsumerisme, itu semua malah berujung pada suatu konsumerisme tak bernalar (mindless consumerism). Dalam kecenderungan itulah dipertaruhkan, misalnya, sehatnya kesadaran dan pola pikir kita.

Konsumerisme ini lebih-lebih lagi harus menjadi keinsafan umum dalam suatu masyarakat modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi dan informasi. Dikatakan demikian karena yang diunggulkan oleh era konsumerisme yaitu apa yang sering disebut sebagai "imagologi" di mana realitas (ekonomi) mengalahkan ideologi (etika), dan realitas dikalahkan oleh image (citra-estetika). Sejalan dengan itu, misalnya, pencitraan kecantikan yang dimunculkan oleh produsen kosmetik dengan citra Kaukasia-nya, bahwa wanita bisa dikatakan cantik ialah bila ia berwajah putih, berambut lurus, dan langsing. Maka, terjadilah apa yang oleh Jean Boudilard disebut planed narcisism (narsisme terencana). Inilah masa di mana komoditas barang digeser oleh komoditas budaya. Teknologi informasi dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi dicipta untuk nilai guna, tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio, video, visual; koran dan majalah) menjadi jantung perdagangan dengan advertising sebagai ujung tombaknya.

Dialah yang menurut Herry Priyono-dalam pendahuluan buku ini-disebut pasar kapitalis yang menerobos masuk ke hampir semua ranah kehidupan personal dan sosial kita (private and public sphere). Sampai pada urusan makan dan minum kita, suka dan duka kita, juga berada dalam radius kinerja pasar kapitalis itu. Hlm xix.

BEGITU pula ranah media massa, terutama surat kabar harian dan mingguan, semenjak bergulirnya arus reformasi, di mana kebebasan berpendapat menjadi suatu keniscayaan. Media massa kita semakin ditengarai dengan kecenderungan untuk selalu menyodorkan informasi yang bersifat voyeuristik, yang berisi penggerusan kapasitas berpikir sehingga berakibat pada proses pendangkalan kebudayaan. Dan juga bersifat klise, yaitu mengulas apa yang selalu dan sering diulas, tak ada refleksi di sana, sekadar berhenti pada informasi faktual, aktual, bahkan sensasional.

Dalam konteks media massa voyeuristik (voyeuristic journalism) yang dipenuhi dengan gosip selebritis sebagai obyek beritanya, dengan tampilan cover genit, tentunya kehadiran "Bentara" sebagai suplemen kebudayaan mempunyai tujuan lain, yaitu memberikan suguhan reflektif, mungkin juga sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran setan ketakberdayaan (disempowerment) pembaca di tengah kepungan klise massa yang menggejala sebagai akibat. Ia juga merupakan wujud dari konsistensi media massa sebagai pilar utama "pendidik" masyarakat (civic journalism).

Esai-esai Bentara, sebagaimana sebuah esai lainnya yang menekankan pada unsur daya tarik yang dialogis dan mengutamakan keindahan serta dihalalkannya kebebasan dan subyektivitas, esai selalu dibicarakan sebagai apa yang oleh Ignas Kleden disebut suatu jenis kesusastraan (genus litterarium), yang mempunyai arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa. Kekuatan sebuah esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Ia juga tidak berpretensi mengajukan suatu pemikiran yang kokoh dan ketat, melainkan menyajikan suatu obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, seperti juga puisi, mulai ditulis kembali ketika sastrawan berhenti menulis novel, ilmuwan berhenti menulis buku teks, dan para filosof berhenti menulis traktat.

Ada diferensiasi antara filsafat, ilmu, dan esai. Kalau filsafat memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran, kalau ilmu memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris, maka esai memperlakukan ide sebagai ekspresi spontanitas subyektif melalui pikiran. Dengan demikian, filsafat bersifat mempertanyakan dan menguji ide berdasarkan rasionalitas, ilmu bersifat menjelaskan dan menguji ide berdasarkan obyektivitas, sementara esai melukiskan dan menguji ide berdasarkan orisinalitas.

BUKU yang diedit oleh JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, masing-masing sebagai wartawan dan editor Bentara (Kompas) ini, sedianya pernah terbit setiap Jumat awal bulan sejak tahun pertama (2000) sampai memasuki tahun ketiga (2002). Sebagai lembar kebudayaan, ia berisi informasi yang memikat dan jenial dalam jagat penulisan untuk ukuran media massa harian.

Tidak sekadar kompilasi tulisan seperti halnya buku-buku yang banyak beredar dalam belantara perbukuan Indonesia saat ini, buku ini mempunyai susunan sistematika yang kompleks dan multidisiplin, terdiri dari empat bagian. Bagian pertama mengedepankan refleksi pemikiran dan tokoh nasional dan pemikir dunia, salah satunya yaitu analisa psikologis terhadap kepribadian mantan presiden Soeharto. Bagian kedua memusatkan perhatian pada bidang seni rupa, sastra, film, dan cultural studies. Bagian ketiga menekankan pada ilmu fisika, kosmologi, juga tentang dimungkinkannya penerapan Ekonofisika sebagai disiplin ilmu baru untuk bersaing di pasar saham. Sedangkan bagian keempat dari buku ini menitikberatkan pada agama dan masyarakat, salah satunya mengenai pasang surutnya hubungan agama dan negara dalam lintasan sejarah dan kemungkinannya di masa depan.

Akhirnya buku, atau lebih tepat kumpulan esai-esai ini sangat bermanfaat untuk memperluas horizon dan memberi inspirasi bagi para peminat masalah-masalah kebudayaan, agama, seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, untuk dapat menetaskan benih-benih kesadaran kritis di tengah belantara dan kepungan klise massa demi membuka koridor bagi diskusi-diskusi yang lebih cerdas, memikat, dan produktif. Ia juga bisa dijadikan forum bagi kebutuhan reflektif supaya proses hermeneutika ganda (double heurmeneutic) masih tetap berlangsung di tengah kecenderungan pengebawahan sebuah refleksi. Bagi yang masih belum lengkap dokumentasi atau kliping "Bentara"-nya karena satu dan lain hal, bisa didapatkan dengan hadirnya buku ini.

bencana sebagai pelajaran

KETIKA banjir bandang meluluhlantakkan kawasan wisata Sungai Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, serta menewaskan 113 warga tak berdosa (sekitar 100 lainnya hilang), bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi!

APAKAH bangsa ini tergolong bangsa munafik seperti ungkapan tokoh besar dunia itu? Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya. Serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama.

Contohnya banjir bandang di kawasan wisata Pacet, Jawa Timur, atau di Garut, Jawa Barat, tahun lalu yang menewaskan puluhan warga sekitar. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu.

Demikian pula terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah lama dirusak secara tersistem maupun tak tersistem oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bupati Langkat Syamsul Arifin meyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). "Berdasarkan pemantauan terakhir di daerah kami, perambahan di Leuser sekarang ini sudah mencapai 42.000 hektar. Kami sudah sampaikan hal itu kepada instansi terkait karena kondisi ini memerlukan penanganan yang sangat serius dan tepat sasaran," kata Syamsul.

Akibat pencurian kayu/penebangan liar yang juga melibatkan pengawas hutan maupun aparat keamanan, lanjutnya, masyarakat di Kabupaten Langkat menanggung risiko yang sangat mahal. Bencana alam ini telah membuat daerah wisata alam yang sangat terkenal dengan orangutannya itu terancam tutup.

Penebangan liar dan perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser hingga kini terus berlangsung baik di kawasan Sumatera Utara maupun Aceh. Terbukti, jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar.

Dari berbagai keterangan maupun hasil penjajakan di lapangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat sendiri. Eforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.

Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) nakal diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.

KAWASAN Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup manusia sehingga wajib diamankan dan dilestarikan. Khusus bagi masyarakat Sumatera Utara, mereka terkait langsung karena di kawasan itu terdapat hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir, seperti Kota Medan dan kawasan Deli Serdang. Hutan Leuser merupakan hutan hujan tropis terlengkap di dunia yang mampu menyuplai air secara kontinu, baik untuk irigasi, pertanian, industri, maupun kebutuhan hidup lainnya.

Hutan Leuser menyediakan tempat-tempat resapan air seperti hutan gambut dan rawa-rawa. Di hutan primer Leuser tersedia Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air (DTA). DTA yang disuplai dari jasa ekologi Leuser hidrologi adalah DTA Jambo Aye, DTA Tamiang, DTA Wampu, DTA Krueng Tripa, dan DTA Alas.

Lebatnya kanopi vegetasi hutan Leuser (kayu-kayu) tidak hanya berfungsi mengurangi terpaan arus angin yang berembus dari daratan Asia atau dari benua Australia. Ia juga mampu menampung air presipitasi (lapisan endapan), menahannya mulai dari permukaan daun, ranting, cabang dan batang sampai ke akar-akar kayu, air dibawa ke seluruh lapisan tanah dan sebagian ditahan oleh material pelapukan (humus) untuk disimpan sebagai cadangan. Apabila melebihi kapasitas daya simpan, air akan dialirkan, dan air itulah yang disuplai untuk kebutuhan hidup penduduk di bawahnya.

Namun penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan Leuser tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas.

Sementara itu, resapan air pada bagian bawah tidak terjadi. Dan ketika turun hujan lebat Minggu (2/11) malam, arusnya bercampur lumpur meluncur dengan dahsyat melalui Sungai Bohorok menghancurkan permukiman dan kawasan wisata, karena tidak ada lagi pohon-pohon penyangga penahan air hujan.

Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di semua tipe hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit.

Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Kedua adalah pencurian kayu secara besar-besaran yang sering dibekingi oleh aparat penegak hukum (tentara, polisi, dan pejabat kehutanan). Kategori ini mencakup kegiatan penebangan yang tidak terkendali di dalam dan di luar areal konsesi. Perusakan Leuser juga bisa terjadi oleh proyek pemerintah sendiri, seperti pembangunan jalan Ladia Galaska.

Karena itu, seperti ditegaskan Kepala Badan Planologi Kehutanan Boen M Purnama, Departemen Kehutanan (Dephut) menolak proyek ini karena terkait dengan upaya mempertahankan keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini sudah banyak dirambah penebang liar. "Upaya mempertahankan kawasan hutan yang masih ada terpaksa dilakukan karena tekanan terhadap sektor ini sekarang sangat besar," katanya beberapa waktu lalu.

Usulan pembangunan jaringan jalan ini dan proyek jalan yang berhubungan lainnya memotong ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan, menurut catatan Dephut, proyek ini melintasi hutan lindung yang memiliki kemiringan lebih dari 40 persen serta kawasan konservasi lain.

Sedikitnya terdapat sembilan lokasi jalan yang berada di titik rawan kelestarian yang akan dilintasi megaproyek ini, dan hanya tiga lokasi yang memenuhi prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

KERUSAKAN hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.

Parahnya kondisi hutan diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan, hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta hektar. Seluas 59,62 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan, yakni di dalam hutan lindung (10,52 huta hektar), hutan konservasi (4,69 juta hektar) dan hutan produksi (44,42 juta hektar).

Laju kerusakan hutan periode 1985- 1997 tercatat 1,6 juta hektar/tahun, sedangkan periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta hektar/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode 2000-2003 karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang tak terkendali. Melihat fakta ini, ada yang memprediksikan, hutan di Sumatera akan habis pada tahun 2005.

Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara. Contoh terakhir musibah di kawasan wisata Bohorok, Kabupaten Langkat.

Walaupun kerusakannya demikian hebat, hingga kini belum ada tanda-tanda hutan di republik ini diperbaiki. Malah tahun 2003-2004 cenderung menjadi tahun transisi yang penuh ancaman terhadap upaya perbaikan pengelolaan hutan. Indikatornya, antara lain, masih lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan pusat dan daerah dalam praktik operasional pengelolaan hutan.

Indikator lain adalah belum terfokusnya program kehutanan nasional yang mengakar di daerah dan tidak dilaksanakannya secara memadai kewenangan perlindungan hutan (khususnya penataan batas), pengendalian penebangan liar dan kebakaran hutan di daerah. Hasil hutan kayu masih merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya hutan, belum mantapnya organisasi dan personel kehutanan di pusat dan daerah. Hasil Pemilu 2004 juga berpotensi mengubah kembali arah program kehutanan jangka panjang.

Rimbawan praktisi dari Universitas Gadjah Mada, Transtoto Handadhari, menggambarkan, meskipun di tingkat pusat terus disibukkan dengan penyusunan berbagai aturan pelestarian hutan, sebaliknya komitmen pelestarian hutan di lapangan semakin kabur bahkan terkesan ambivalen. Akibat kekuatan pasar kayu bulat, praktik tebangan liar terus marak. Malah ekspor log (kayu bulat) yang sudah dilarang kabarnya terus berlangsung.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2002 terdapat realisasi ekspor kayu bulat 55.109 kubik senilai 11,20 juta dollar AS. Sampai April 2003, ekspor yang sama tercatat 2.767 meter kubik senilai 881.000 dollar AS. Padahal, sejak 8 Oktober 2001, ekspor log dan bahan baku serpih dihentikan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 292/MPP/Kep/10/2001.

Larangan ekspor log semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, khususnya dalam Pasal 76 yang menyatakan ekspor log dan bahan baku serpih dilarang. Memang sebelumnya terjadi kesepakatan antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membuka ekspor log. Namun, kebijakan itu mendorong makin merebaknya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan alam terancam dan lingkungan hidup rusak.

konflik sosial

Kasus perkelahian antar perguruan silat yang dimotori oleh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan Setia Hati Winongo atau disebut STK (Sedulur Tunggal Kecer) di Karesidenan Madiun akhir-akhir ini sangat marak dan melibatkan masa pendukung secara massif dan di sertai dengan pengerusakan serta jatuhnya korban jiwa.

Konflik yang berpangkal dari perbedaan penafsiran dan klaim kebenaran tentang ideoligi keSHan merambat hampir seluruh Karisedenan Madiun. Hadirnya konflik tersebut juga menimbulkan keresahan dan ketidaknyaman berbagai lapisan masyarakat. Arkeologi Kekerasan SH Terate VS SH Winongo Perkelahian secara turun temurun antar SH Terate dan SH Winongo tidak lepas dari setting sejarah yang melatarbelakangi.

Kedua perguruan tersebut awalnya merupakan satu perguruan yaitu Setia Hati (diawali berdirinya Sedulur Tunggal Kecer) yang berdiri di kampung Tambak Gringsing Surabaya, oleh Ki Ngabei Soero Diwiryo dari Madiun pada tahun 1903. Pada tahun tersebut Ki Ngabei belum menamakan perguruannya dengan nama Setia Hati, namun masih bernama “Joyo Gendilo Cipto Mulyo” dengan hanya memiliki 8 orang siswa. Didahului oleh 2 orang saudara, yaitu Noto/Gunadi (adik kandung KI Ngabei sendiri) dan kenevel Belanda. Organisasi silat tersebut mendapat hati di kalangan masyarakat sekitar tahun 1917, yang mana Joyo Gendilo Cipto Mulyo mealkukan demonstarsi silat secara terbuka di alun–alun Madiun dan menjadikannya sebgai perguruan yang popular di kalangan masyarakat karena gerakan yang unik penuh seni dan bertenaga.

Pada tahun 1917 Joyo Gendilo Cipto Mulyo bergati nama dengan Setia Hati. Pendiri perguruan tersebut meninggal pada tanggal 10 November 1944 dalam usia 75 tahun, dengan meninggalkan wasiat supaya rumah dan pekarangannya diwakafkan kepada Setia Hati dan selama bu Ngabei Soero Diwiryo masih hidup tetap menetap di rumah tersebut dengan menikmati pensiun dari perguruan tersebut.

Ki Ngabei dimakamkan di Desa Winongo Madiun dengan batu nisan garnit dengan dikelilingi bunga melati. Dan oleh berbagai kalangan makam Ki Ngabei dijadikan pusat dari perguruan Setia Hati. Dan pada Tahun 1922 Murid Ki Ngabei Soero Diwiryo mendirikan Setia Hati Teratai sebagai respon untuk mengembangkan Pencak silat dengan ideologi ke SH an.

Pertentangan ideologi memulai memuncak ketika pendiri SH meninggal yang mana konflik tersebut di motori oleh dua murid kesayangan Ki Ngabei Soero Diwiryo yang mengakibatkan pecahnya SH dan terbagi dalam 2 wilayah teritorial yaitu SH Winongo yang tetap berpusat di Desa Winongo dan SH Terate di Desa Pilangbangau Madiun.

Konflik kedua murid merambat sampai akar rumput sampai sekarang yang di penuhi rasa kebencian satu sama lain. Belum lagi konflik di perparah kepentingan politik dan perebutan basis ekonomi. Basis pendukung antar kedua perguruan di bedakan oleh perbedaan kelas juga. SH Winongo berkembang dalam alan perkotaan dan basis pendukungnya adalah para bangsawan atau priyayi sedangkan SH Teratai berkembang di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Perpecahan kedua perguruan tadi juga terletak dalam strategi pengembangan ideologi yang satu bersifat ekslusif sedangkan Hardjo Utomo ingin membangun SH yang lebih bisa diterima masyarakat bawah guna melestarikan perguruan.

Melihat dari latar belakang tersebut, konflik yang tejadi adalah konflik identitas yang mana kedua perguruan tersebut saling mengklaim kebenaran pembawa nilai ideoligi SH yang orisinil dan menganggap dirinya yang paling baik dan benar. Klaim kebenaran terus menerus di reproduksi sehingga membentuk praktek–praktek diskursif yang saling meyalahkan satu sama lain.

Konflik yang digerakkan oleh klaim kebenaran pemegang otoritas tunggal ideologi ke SH an juga di dukung olehkultur agraris masyarakat setempat yang dalam kehidupan sehari-hari tidak mempunyai kegiatan selain bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari –hari. Tumbuh suburnya perguruan silat di karesidenan Madiun juga di topang oleh idelogi pencak silat yang di olah kebatinan kejawen yang sangat familiar dalam kehidupan sehari–hari.

Implikasinya, kelompok silat menjadi suatu yang itegral dalam kehidupan masyarakat dan masyarakat juga ikut melestarikan konflik di sebabkan tingkat partisipasinya dalam kelompok silat sangat tinggi. Hadirnya kelompok silat dalam masyrakat agraris adalah sebuah media sosial untuk melepaskan rutinitas sehari–hari dan sebagai pelepas tekanan kemiskinan yang sering di derita masyarakat petani.

Partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kelompok silat dan di barengi sentimen ideologis yang kuat dan cenderung emosional dalam bertindak seringkali dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan yaitu oleh para politisi lokal untuk mendukung parpol yang dipimpimnya. Fenomena tersebut bisa dilihat oleh Mantan Bupati Ponorogo Markum, yang pada tahun 1998 lalu bergabung menjadi anggota kehormatan SH Terate. Kelompok silat yang jumlahnya ribuan sangat potensial untuk mendukung kepentingan parpol tertentu.

Hadirnya nuansa politisasi dalam sebuah organisasi silat yang menambah rantai konflik semakin panjang dan sangat sulit untuk diselesaikan. Pertarungan eksistensi antara SH Winongo dan SH Terate juga ber imbas pada perekutan anggota sebanyak–banyaknya. Dalam memperebutkan anggota juga sebagai perebutan basis ekonomi. Hasil Penelitian yang di lakukan oleh E. Probo dia mengambil contoh SH Terate (2002 :6 makalah diskusi), untuk satu kali pelantikan setiap bulan Sura [bulan pertama dalam kalender Jawa], Terate melakukan pelantikan sejumlah 1000-2000 anggota baru.

Jika satu anggota membayar Rp. 700 ribu rupiah, maka uang yang akan masuk ke organisasi dalam satu tahun adalah Rp 700 juta hingga Rp. 1,4 milyar rupiah !!! Jumlah yang fantastis. Ini menarik sekali, sebuah organisasi silat dengan jumlah anggota 35.000 orang dan pemasukan Rp. 700 juta hingga Rp. 1,4 milyar rupiah per tahun. Maka bila salah satu perguruan silat menguasai satu daerah maka dengan sekuat tenaga akan mempertahankan, karena di situlah eksitensi sebuah perguruan silat dipertaruhkan. Selain itu mereka juga tidak mau kehilangan basis ekonominya.

Penutup

Konflik Identitas antara SH Winongo dan SH Teratai yang dimulai dengan klaim kebenaran tentang pemegang teguh ajaran ke SH an sekarang mulai merebak pada perebutan basis ekonomi serta di manfaatkanya kelompok silat sebagai penyokong parpol tertentu. Di lain sisi, masyrakat pun ikut melestarikan adanya konflik tersebut.

Untuk menghindari adanya konflik ideologis yang berkepanjanngan, perlu di lakukan tindakan yang tegas oleh aparat kepolisian. Pemerintah daerah setempat juga harus menciptakan media sosial yang lain yang dapat membuat masyarakat keluar dari rutinitas sehari-hari dan terlepas dari berbagai tekanan sosial ekonomi yang selalu menghantui. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mempunyai program pembangunan yang berorentasi pada kesejahteraan rakyat.karena kita ketahui hadirnya konflik tersebut tidak lepas dari budaya kemiskinan masyarakat setempat.


*Ditulis oleh kerabat Nashirul Umam, ketika masih menjadi mahasiswa Fisip Unair dan aktivis CESPOD (Centre for Ekonomic, Social and Policy Development)

DAMPAK SOSIAL KRISIS MONETER 1997

DAMPAK SOSIAL KRISIS MONETER 1997

Abstrak
Krisis perekonomian yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia telah menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Dampak tersebut diantaranya dirasakan di bidang ekonomi secara umum, politik dan budaya. Tulisan berikut beurupaya mengupas masalah tersebut lebih jauh.

Seperti yang telah kita ketahui sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia di dera krisis perekenomian – yang sebenarnya adalah akumulasi persoalan di masa lalu yang memuncak seiring dengan terjadinya krisis regional di hampir semua belahan asia. Krisis ditandai dengan menurunnya secara drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar, sehingga membuat kinerja perekonomian Indonesia yang banyak mengandalkan utang dalam dollar, tapi pemasukan dalam rupiah menjadi “collapse”. Kondisi perekonomian yang “sempoyongan” ini merambah kesemua sektor; likuidasi beberapa bank, penutupan beberapa perusahaan, PHK besar-besaran, harga-harga sembako melonjak. Krisis ekonomi (Krismon) ini mau tak mau memicu krisis sosial; kriminilitas melonjak, kekerasan kolektif meningkat. Krisis sosial juga memicu krisis politik; Soeharto mulai kehilangan legitimasi politik. Puncak dari segala “kegaduhan sosial” ini berujung dengan peristiwa-perisitiwa kekerasan politik menjelang (peristiwa Semanggi I) dan setelah mundurnya Soeharto dari kursi Presiden tangggal 21 Mei 1998 (peristiwa Semanggi II), dan beberapa peristiwa kekerasan lainnya yang umumnya terjadi dalam latar belakang perebuta kekuasaan. Pertama, yang percaya bahwa krisis itu disebabkan oleh unsur eksternal, yaitu perubahan sentimen pasar uang secara cepat yang menimbulkan panik finansial. Panik finansial ini dengan proses penularan (contagion) menjadi krisis . Kedua, yang berpendapat bahwa krisis timbul karena adanya kelemahan struktural di dalam perekonomian nasional, dalam sistim keuangan atau perbankan dan praktek kapitalisme kroni
.
Krisis di Indonesia merupakan kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan (contagion) pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural, yaitu sistim perbankan dan sektor riilnya. Dalam perkembangannya krisis ekonomi menjalar ke krisis sosial-politik
Proses terjadinya dimulai dengan adanya gejolak yang berdampak penularan pada pasar uang yang dihadapi Pemerintah dengan mengandalkan kebijaksanaan moneter yang berlaku saat itu (suatu pengambangan mata uang terkendali dengan penetapan batas ambang jual-beli valuta BI serta depresiasi merayap setiap tahunnya). Pelaksanaan kebijakan ini melalui pelebaran rentang jual-beli BI dan intervensi pasar pada waktu kurs di pasar uang ‘spot’ melampaui yang ditentukan. Akan tetapi sebagai dampak sampingan dari kebijakan moneter yang menyertasi langkah intervensi pasar ternyata suku bunga yang meningkat telah memberatkan bank-bank yang kurang sehat, bahkan pada putaran selanjutnya bank yang sehatpun menderita dari penciutan likuiditas dalam perekonomian. Dalam proses ini, gejolak yang melanda pasar uang dengan dampak penularan ini pada akhirnya mengungkap kelemahan perbankan nasional. Sektor perbankan Indonesia yang memang lemah tersebut kemudian mengalami ‘distress’, yang secara cepat berubah menjadi krisis, karena turunnya kepercayaan masyarakat (deposan) yang kemudian melakukan penarikan dana secara bersama dan besar-besaran pada banyak bank. Masalahnya menjadi sistemik, menyangkut banyak bank dan sistim perbankan . Pemilik dana melakukan tindakan penyelamatan dana mereka dengan memindahkannya pada bank yang dalam persepsi mereka aman. Ini dikenal dengan istilah ‘flight to safety’ dan ‘flight to quality’ . Setelah perbankan mengalami krisis, secara cepat kemudian masalahnya menjalar ke sektor riil dalam perekonomian (karena kredit kepada nasabah, termasuk untuk perusahaan-perusahaan banyak yang dihentikan atau suku bunganya ditingkatkan sangat tinggi) dan akhirnya terjadi krisis ekonomi (produksi dan perdagangan terganggu, kemudian lumpuh). Kalau dari gejolak pasar uang timbul krisis perbankan karena lemahnya perbankan, maka dari krisis perbankan timbul krisis ekonomi disebabkan oleh lemahnya sektor riil dari perekonomian nasional, antara lain karena praktek kapitalisme ‘ersatz’ yang penuh dengan KKN dengan masalah yang melekat padanya.

DAFTAR PUSTAKA
Duverger, Maurice., Sosiologi Politik (alih bahasa oleh Daniel Dhakidae), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Dahrendorf (et all), Teori Sosial dan Praktek Politik (terjemahan), Jakarta: Rajawali, 1986.
Kindleberger, Charles P., Maniacs, Panics, and Crashes: A History of Financial Crises, New York : Johan Wiley & Sons, Inc., edisi 3, 1996.