Minggu, 06 Juni 2010

kebudayaan

DUNIA saat ini tengah ditandai oleh apa yang sering disebut sebagai "dunia konsumerisme". Pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh penjuru dunia. Kehidupan manusia di dunia yang transparan ini harus mempunyai visi yang tepat tentang kecenderungan hidup (the inclination of life) dengan kesadaran positif dan kritis akan adanya kompleksitas struktur permasalahan yang menggejala di sekitar kita.

Seiring dengan itu, kini makin tinggi gejala konsumerisme yang ditandai dengan maraknya dunia industri, menawarkan berbagai macam produk baru untuk kita konsumsi tanpa batas. Dengan menggunakan media televisi, koran, majalah, dan radio untuk mengepung khalayak dalam konsumerisme, itu semua malah berujung pada suatu konsumerisme tak bernalar (mindless consumerism). Dalam kecenderungan itulah dipertaruhkan, misalnya, sehatnya kesadaran dan pola pikir kita.

Konsumerisme ini lebih-lebih lagi harus menjadi keinsafan umum dalam suatu masyarakat modern yang ditandai oleh jaringan komunikasi dan informasi. Dikatakan demikian karena yang diunggulkan oleh era konsumerisme yaitu apa yang sering disebut sebagai "imagologi" di mana realitas (ekonomi) mengalahkan ideologi (etika), dan realitas dikalahkan oleh image (citra-estetika). Sejalan dengan itu, misalnya, pencitraan kecantikan yang dimunculkan oleh produsen kosmetik dengan citra Kaukasia-nya, bahwa wanita bisa dikatakan cantik ialah bila ia berwajah putih, berambut lurus, dan langsing. Maka, terjadilah apa yang oleh Jean Boudilard disebut planed narcisism (narsisme terencana). Inilah masa di mana komoditas barang digeser oleh komoditas budaya. Teknologi informasi dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal. Produksi bukan lagi dicipta untuk nilai guna, tapi demi nilai tukar. Komunikasi media (audio, video, visual; koran dan majalah) menjadi jantung perdagangan dengan advertising sebagai ujung tombaknya.

Dialah yang menurut Herry Priyono-dalam pendahuluan buku ini-disebut pasar kapitalis yang menerobos masuk ke hampir semua ranah kehidupan personal dan sosial kita (private and public sphere). Sampai pada urusan makan dan minum kita, suka dan duka kita, juga berada dalam radius kinerja pasar kapitalis itu. Hlm xix.

BEGITU pula ranah media massa, terutama surat kabar harian dan mingguan, semenjak bergulirnya arus reformasi, di mana kebebasan berpendapat menjadi suatu keniscayaan. Media massa kita semakin ditengarai dengan kecenderungan untuk selalu menyodorkan informasi yang bersifat voyeuristik, yang berisi penggerusan kapasitas berpikir sehingga berakibat pada proses pendangkalan kebudayaan. Dan juga bersifat klise, yaitu mengulas apa yang selalu dan sering diulas, tak ada refleksi di sana, sekadar berhenti pada informasi faktual, aktual, bahkan sensasional.

Dalam konteks media massa voyeuristik (voyeuristic journalism) yang dipenuhi dengan gosip selebritis sebagai obyek beritanya, dengan tampilan cover genit, tentunya kehadiran "Bentara" sebagai suplemen kebudayaan mempunyai tujuan lain, yaitu memberikan suguhan reflektif, mungkin juga sebagai upaya untuk keluar dari lingkaran setan ketakberdayaan (disempowerment) pembaca di tengah kepungan klise massa yang menggejala sebagai akibat. Ia juga merupakan wujud dari konsistensi media massa sebagai pilar utama "pendidik" masyarakat (civic journalism).

Esai-esai Bentara, sebagaimana sebuah esai lainnya yang menekankan pada unsur daya tarik yang dialogis dan mengutamakan keindahan serta dihalalkannya kebebasan dan subyektivitas, esai selalu dibicarakan sebagai apa yang oleh Ignas Kleden disebut suatu jenis kesusastraan (genus litterarium), yang mempunyai arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa. Kekuatan sebuah esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Ia juga tidak berpretensi mengajukan suatu pemikiran yang kokoh dan ketat, melainkan menyajikan suatu obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, seperti juga puisi, mulai ditulis kembali ketika sastrawan berhenti menulis novel, ilmuwan berhenti menulis buku teks, dan para filosof berhenti menulis traktat.

Ada diferensiasi antara filsafat, ilmu, dan esai. Kalau filsafat memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran, kalau ilmu memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris, maka esai memperlakukan ide sebagai ekspresi spontanitas subyektif melalui pikiran. Dengan demikian, filsafat bersifat mempertanyakan dan menguji ide berdasarkan rasionalitas, ilmu bersifat menjelaskan dan menguji ide berdasarkan obyektivitas, sementara esai melukiskan dan menguji ide berdasarkan orisinalitas.

BUKU yang diedit oleh JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, masing-masing sebagai wartawan dan editor Bentara (Kompas) ini, sedianya pernah terbit setiap Jumat awal bulan sejak tahun pertama (2000) sampai memasuki tahun ketiga (2002). Sebagai lembar kebudayaan, ia berisi informasi yang memikat dan jenial dalam jagat penulisan untuk ukuran media massa harian.

Tidak sekadar kompilasi tulisan seperti halnya buku-buku yang banyak beredar dalam belantara perbukuan Indonesia saat ini, buku ini mempunyai susunan sistematika yang kompleks dan multidisiplin, terdiri dari empat bagian. Bagian pertama mengedepankan refleksi pemikiran dan tokoh nasional dan pemikir dunia, salah satunya yaitu analisa psikologis terhadap kepribadian mantan presiden Soeharto. Bagian kedua memusatkan perhatian pada bidang seni rupa, sastra, film, dan cultural studies. Bagian ketiga menekankan pada ilmu fisika, kosmologi, juga tentang dimungkinkannya penerapan Ekonofisika sebagai disiplin ilmu baru untuk bersaing di pasar saham. Sedangkan bagian keempat dari buku ini menitikberatkan pada agama dan masyarakat, salah satunya mengenai pasang surutnya hubungan agama dan negara dalam lintasan sejarah dan kemungkinannya di masa depan.

Akhirnya buku, atau lebih tepat kumpulan esai-esai ini sangat bermanfaat untuk memperluas horizon dan memberi inspirasi bagi para peminat masalah-masalah kebudayaan, agama, seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, untuk dapat menetaskan benih-benih kesadaran kritis di tengah belantara dan kepungan klise massa demi membuka koridor bagi diskusi-diskusi yang lebih cerdas, memikat, dan produktif. Ia juga bisa dijadikan forum bagi kebutuhan reflektif supaya proses hermeneutika ganda (double heurmeneutic) masih tetap berlangsung di tengah kecenderungan pengebawahan sebuah refleksi. Bagi yang masih belum lengkap dokumentasi atau kliping "Bentara"-nya karena satu dan lain hal, bisa didapatkan dengan hadirnya buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar