KETIKA banjir bandang meluluhlantakkan kawasan wisata Sungai Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, serta menewaskan 113 warga tak berdosa (sekitar 100 lainnya hilang), bangsa ini hanya bisa menyatakan prihatin, sedih, kasihan, lalu menyatakan belasungkawa. Merunut pada serangkaian bencana alam sebelumnya, pihak-pihak berkompeten di republik ini nyaris tidak berbuat apa pun untuk mencegah agar peristiwa semacam itu tidak terulang. Musibah alam selalu dianggap takdir dari Tuhan. Kalaupun dilakukan analisis, hasilnya mudah ditebak, curah hujan sangat tinggi!
APAKAH bangsa ini tergolong bangsa munafik seperti ungkapan tokoh besar dunia itu? Suka atau tidak suka, itulah kenyataannya. Serangkaian peristiwa bencana alam yang terjadi berulang-ulang setiap musim hujan tak pernah menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab utama.
Contohnya banjir bandang di kawasan wisata Pacet, Jawa Timur, atau di Garut, Jawa Barat, tahun lalu yang menewaskan puluhan warga sekitar. Hingga kini tidak ada upaya mencegah atau memperbaiki kerusakan kawasan hutan di atasnya yang sudah jelas merupakan penyebab utama bencana itu.
Demikian pula terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser yang sudah lama dirusak secara tersistem maupun tak tersistem oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Bupati Langkat Syamsul Arifin meyakini, banjir bandang itu terjadi akibat maraknya penebangan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). "Berdasarkan pemantauan terakhir di daerah kami, perambahan di Leuser sekarang ini sudah mencapai 42.000 hektar. Kami sudah sampaikan hal itu kepada instansi terkait karena kondisi ini memerlukan penanganan yang sangat serius dan tepat sasaran," kata Syamsul.
Akibat pencurian kayu/penebangan liar yang juga melibatkan pengawas hutan maupun aparat keamanan, lanjutnya, masyarakat di Kabupaten Langkat menanggung risiko yang sangat mahal. Bencana alam ini telah membuat daerah wisata alam yang sangat terkenal dengan orangutannya itu terancam tutup.
Penebangan liar dan perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser hingga kini terus berlangsung baik di kawasan Sumatera Utara maupun Aceh. Terbukti, jika tahun 1985 yang rusak masih 229.570,27 hektar dan yang tidak lagi berupa hutan atau gundul 27.410,54 hektar dari 2.570.652,78 hektar luas seluruh hutan KEL, di tahun 2000 yang rusak sudah mencapai 653.482,17 hektar dan yang gundul 262.564,67 hektar.
Dari berbagai keterangan maupun hasil penjajakan di lapangan, kondisi yang amat memprihatinkan ini bisa terjadi karena berbagai hal. Di antaranya keterlibatan oknum-oknum instansi kehutanan, aparat keamanan, bahkan oknum-oknum lembaga legislatif di samping masyarakat sendiri. Eforia reformasi juga ikut mendorong makin maraknya aksi-aksi penebangan liar.
Sebagian masyarakat yang sama sekali tidak mengerti dan memahami fungsi hutan menganggap hutan boleh dirambah dan diambil kayunya karena anugerah Tuhan. Akan tetapi, aksi-aksi perambahan yang dilakukan masyarakat bukan semata karena ketidaktahuan akan pentingnya fungsi hutan. Cukong-cukong kayu atau pengusaha hak pengusahaan hutan (HPH) nakal diduga berdiri di belakang aksi masyarakat tersebut.
KAWASAN Ekosistem Leuser merupakan paru-paru dunia yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup manusia sehingga wajib diamankan dan dilestarikan. Khusus bagi masyarakat Sumatera Utara, mereka terkait langsung karena di kawasan itu terdapat hulu beberapa daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penyimpan air dan menahan banjir di daerah hilir, seperti Kota Medan dan kawasan Deli Serdang. Hutan Leuser merupakan hutan hujan tropis terlengkap di dunia yang mampu menyuplai air secara kontinu, baik untuk irigasi, pertanian, industri, maupun kebutuhan hidup lainnya.
Hutan Leuser menyediakan tempat-tempat resapan air seperti hutan gambut dan rawa-rawa. Di hutan primer Leuser tersedia Rawa Singkil-Trumon, Rawa Kluet, dan Rawa Tripa sebagai tempat penampungan air sebelum dialirkan ke sungai dan membentuk daerah tangkapan air (DTA). DTA yang disuplai dari jasa ekologi Leuser hidrologi adalah DTA Jambo Aye, DTA Tamiang, DTA Wampu, DTA Krueng Tripa, dan DTA Alas.
Lebatnya kanopi vegetasi hutan Leuser (kayu-kayu) tidak hanya berfungsi mengurangi terpaan arus angin yang berembus dari daratan Asia atau dari benua Australia. Ia juga mampu menampung air presipitasi (lapisan endapan), menahannya mulai dari permukaan daun, ranting, cabang dan batang sampai ke akar-akar kayu, air dibawa ke seluruh lapisan tanah dan sebagian ditahan oleh material pelapukan (humus) untuk disimpan sebagai cadangan. Apabila melebihi kapasitas daya simpan, air akan dialirkan, dan air itulah yang disuplai untuk kebutuhan hidup penduduk di bawahnya.
Namun penebangan yang terus-menerus (legal dan ilegal) berdampak terhadap hilangnya sumber air, yang didasari prinsip siklus resapan air, di mana sistem perakaran dari pepohonan yang ada di hutan Leuser tidak lagi berfungsi sebagai resapan air hujan. Dengan demikian, air tidak mampu diserap oleh tanah dan aliran air permukaan hanya berfungsi untuk mencuci hara yang ada di lapisan tanah bagian atas.
Sementara itu, resapan air pada bagian bawah tidak terjadi. Dan ketika turun hujan lebat Minggu (2/11) malam, arusnya bercampur lumpur meluncur dengan dahsyat melalui Sungai Bohorok menghancurkan permukiman dan kawasan wisata, karena tidak ada lagi pohon-pohon penyangga penahan air hujan.
Terdapat dua bentuk penebangan liar yang terjadi di semua tipe hutan di Kawasan Ekosistem Leuser. Pertama dan yang paling merusak serta memusnahkan keanekaragaman hayati adalah kegiatan konversi hutan, terutama menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
Sekalipun ilegal, sering kali konversi diakui sebagai kegiatan yang sah sehingga dilakukan secara terang-terangan. Skenario yang terjadi biasanya dengan dasar surat permohonan (selain dari insentif finansial) perusahaan menebang hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Kedua adalah pencurian kayu secara besar-besaran yang sering dibekingi oleh aparat penegak hukum (tentara, polisi, dan pejabat kehutanan). Kategori ini mencakup kegiatan penebangan yang tidak terkendali di dalam dan di luar areal konsesi. Perusakan Leuser juga bisa terjadi oleh proyek pemerintah sendiri, seperti pembangunan jalan Ladia Galaska.
Karena itu, seperti ditegaskan Kepala Badan Planologi Kehutanan Boen M Purnama, Departemen Kehutanan (Dephut) menolak proyek ini karena terkait dengan upaya mempertahankan keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser yang kini sudah banyak dirambah penebang liar. "Upaya mempertahankan kawasan hutan yang masih ada terpaksa dilakukan karena tekanan terhadap sektor ini sekarang sangat besar," katanya beberapa waktu lalu.
Usulan pembangunan jaringan jalan ini dan proyek jalan yang berhubungan lainnya memotong ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser. Bahkan, menurut catatan Dephut, proyek ini melintasi hutan lindung yang memiliki kemiringan lebih dari 40 persen serta kawasan konservasi lain.
Sedikitnya terdapat sembilan lokasi jalan yang berada di titik rawan kelestarian yang akan dilintasi megaproyek ini, dan hanya tiga lokasi yang memenuhi prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
KERUSAKAN hutan Leuser merupakan bagian dari kerusakan hutan di republik ini. Sektor kehutanan menghadapi masalah yang sangat kompleks akibat tekanan luar biasa, terutama di era reformasi ini. Lemahnya upaya penegakan hukum, praktik illegal logging yang merajalela, kebakaran hutan dan lahan, klaim atas kawasan hutan, penyelundupan kayu, aktivitas pertambangan, perambahan dan konversi kawasan hutan ke areal penggunaan lain serta review rencana tata ruang yang tidak memenuhi kaidah yang berlaku merupakan penyebab dari semakin terdegradasinya kawasan hutan.
Parahnya kondisi hutan diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan, hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta hektar. Seluas 59,62 juta hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan, yakni di dalam hutan lindung (10,52 huta hektar), hutan konservasi (4,69 juta hektar) dan hutan produksi (44,42 juta hektar).
Laju kerusakan hutan periode 1985- 1997 tercatat 1,6 juta hektar/tahun, sedangkan periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta hektar/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode 2000-2003 karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan kayu, dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang tak terkendali. Melihat fakta ini, ada yang memprediksikan, hutan di Sumatera akan habis pada tahun 2005.
Kerusakan sumber daya hutan dan lahan telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti turunnya mutu lingkungan hidup, terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan sedimentasi, hilangnya biodiversitas dan pendapatan negara. Contoh terakhir musibah di kawasan wisata Bohorok, Kabupaten Langkat.
Walaupun kerusakannya demikian hebat, hingga kini belum ada tanda-tanda hutan di republik ini diperbaiki. Malah tahun 2003-2004 cenderung menjadi tahun transisi yang penuh ancaman terhadap upaya perbaikan pengelolaan hutan. Indikatornya, antara lain, masih lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan pusat dan daerah dalam praktik operasional pengelolaan hutan.
Indikator lain adalah belum terfokusnya program kehutanan nasional yang mengakar di daerah dan tidak dilaksanakannya secara memadai kewenangan perlindungan hutan (khususnya penataan batas), pengendalian penebangan liar dan kebakaran hutan di daerah. Hasil hutan kayu masih merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya hutan, belum mantapnya organisasi dan personel kehutanan di pusat dan daerah. Hasil Pemilu 2004 juga berpotensi mengubah kembali arah program kehutanan jangka panjang.
Rimbawan praktisi dari Universitas Gadjah Mada, Transtoto Handadhari, menggambarkan, meskipun di tingkat pusat terus disibukkan dengan penyusunan berbagai aturan pelestarian hutan, sebaliknya komitmen pelestarian hutan di lapangan semakin kabur bahkan terkesan ambivalen. Akibat kekuatan pasar kayu bulat, praktik tebangan liar terus marak. Malah ekspor log (kayu bulat) yang sudah dilarang kabarnya terus berlangsung.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2002 terdapat realisasi ekspor kayu bulat 55.109 kubik senilai 11,20 juta dollar AS. Sampai April 2003, ekspor yang sama tercatat 2.767 meter kubik senilai 881.000 dollar AS. Padahal, sejak 8 Oktober 2001, ekspor log dan bahan baku serpih dihentikan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 292/MPP/Kep/10/2001.
Larangan ekspor log semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, khususnya dalam Pasal 76 yang menyatakan ekspor log dan bahan baku serpih dilarang. Memang sebelumnya terjadi kesepakatan antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membuka ekspor log. Namun, kebijakan itu mendorong makin merebaknya penebangan liar dan perdagangan gelap hasil hutan kayu. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan alam terancam dan lingkungan hidup rusak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar