Artis terjun ke politik
Sejumlah artis ramai-ramai diusung oleh partai politik menjadi caleg dalam pemilu 2009. Salah satunya PAN yang disebut-sebut menggaet Wulan Guritno, Marini Zumarnis, Derry Drajat, dan Iyet Bustami. Pantaskah mereka menjadi wakil rakyat di DPR?
“Politik kita instan. Ingin cepat mendapatkan dukungan suara dengan memasang artis yang dikenal masyarakat. Harusnya ada kesadaran di kalangan artis bisa mengukur diri sendiri, kalau tidak mampu, ya jangan,” ujar pengamat politik dari LIPI Lili Romli kepada Gold News, Kamis (17/7/2008).
Lili mengatakan, jangan mentang-mentang karena artis itu populer dan dikenal masyarakat jadi ikut-ikutan tanpa mengetahui apa itu politik. “Tetapi itu hak politik artis itu. Memang ada juga artis yang mampu berpolitik,” katanya.
Menurut Lili, masyarakat Indonesia juga harus diberikan kesadaran agar tidak masuk ke dalam politik pragmatis tersebut. Meskipun syarat pemilihan caleg atau presiden itu terkenal namun harus dilihat juga kualitas dari orang yang dicalonkan itu.“Masyarakat harus diberi kesadaran agar tidak terjebak dengan politik pragmatis itu,” tukasnya.Apa mungkin nanti partai-partai yang ikut pemliu 2009 mencalonkan artis jadi presiden? “Bisa jadi seperti itu,” kata Lili.Artis-artis yang berada di DPR sekarang ini, lanjut Lili, hanya diam seribu bahasa. “Itu merugikan rakyat dan partai. Dia dikirim ke dewan untuk memperjuangkan nasib rakyat,” tegasnya.
Milih sing ngeke’i kaos ambe duit ae (memilih yang memberi kaus dan uang saja),” ujar Lastri (35), pedagang kaki lima di Sidoarjo, Jawa Timur, saat ditanya siapa yang akan dipilih dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 yang dilaksanakan 23 Juli mendatang.
Ungkapan seperti disampaikan Lastri belakangan ini beberapa kali terdengar di Jatim saat pertanyaan serupa diajukan. Jawaban itu agaknya juga dipahami sebagian atau bahkan semua pasangan calon kepala daerah yang tengah bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim.
Hal ini terlihat dari kampanye sebagian pasangan calon, yang seolah adalah jawaban atas pernyataan Lastri. Misalnya, dengan mengadakan penjualan kebutuhan pokok berharga murah atau menggelar gerak jalan berhadiah sepeda motor. Sebagian calon juga tidak segan-segan mentraktir makan dan minum warga yang ditemui di tempat umum.
Sikap ”royal” pasangan calon peserta Pilkada Jatim ini bukan hal baru. Hal yang hampir sama juga terjadi di sejumlah pilkada. Misalnya, di Pilkada Kabupaten Bojonegoro, Jatim, akhir 2007. Saat itu Panitia Pengawas Pilkada setempat menemukan amplop berisi Rp 10.000 dan Rp 5.000 disertai ajakan memilih pasangan calon bupati tertentu (Kompas Jatim, 13/12/2007).Barat, 13 April 2008. Pada 9 April 2008, 147 warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada (Kompas, 10/4).
Sebagian warga masyarakat mungkin langsung menilai berbagai tindakan itu adalah praktik politik uang. Namun, anggota Komisi Pemilihan Umum Jatim, Didik Prasetyono, mengatakan, pemberian uang atau barang itu tidak bisa langsung dikategorikan sebagai politik uang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, sebuah tindakan disebut politik uang jika terbukti untuk memengaruhi pilihan warga. Pembuktian ini yang sulit dan memakan waktu lama karena harus sampai pengadilan.
Kondisi inilah yang membuat belum pernah terdengar ada pasangan peserta pilkada yang pencalonannya dibatalkan oleh DPRD karena terbukti melakukan praktik politik uang.
Bukan hal baru
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, berbagai praktik berbau politik uang, seperti yang sekarang sering terjadi, bukan hal baru, tetapi sudah ada sejak era Orde Baru. ”Di Orde Baru, setiap menjelang pemilu, biasanya ada bagi-bagi uang atau janji percepatan percepatan pembangunan fasilitas pembangunan di suatu daerah,” ucapnya lagi.
Praktik itu efektif memengaruhi warga karena disertai dengan kebijakan massa mengambang serta kontrol yang ketat dari birokrasi dan militer. ”Namun, kondisi sekarang berbeda. Sulit untuk mengukur efektivitas praktik serupa jika sekarang dilakukan,” ucap Qodari.Masyarakat, tutur Qodari, semakin cerdas sehingga ada warga yang mau menerima uang dari seorang calon, tetapi memberikan suara kepada calon lain.Namun, lanjut Qodari, semakin luas wilayah dan semakin banyak penduduk, efektivitas berbagai praktik yang berbau politik uang akan semakin berkurang.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, melihat maraknya berbagai praktik yang diduga politik uang di pilkada menunjukkan ketidakpercayaan calon kepada dirinya sendiri. Karena tidak yakin programnya diterima, mereka berusaha menarik perhatian masyarakat dengan cara lain, yaitu politik uang. Sasaran politik uang ini terutama pemilih dari kelas menengah ke bawah yang belum menentukan pilihan. Dari 29,045 juta pemilih pada Pilkada Jatim, diduga sekitar 30 persen belum menentukan pilihan.
Litbang Kompas mencatat, di Jatim ada tujuh juta penduduk miskin. Penganggur mencapai 1,5 juta orang atau 8 persen dari jumlah angkatan kerja di Jatim. Kelas menengah ke bawah itu diyakini akan lebih mudah dipengaruhi uang. Keyakinan ini bukanlah tanpa alasan. Sebab, seperti disampaikan guru besar Universitas Airlangga, Soetandyo Wignjosoebroto, demokrasi membutuhkan masyarakat yang mandiri, baik secara ekonomi maupun ideologi.
Representasi lemah
Maraknya politik uang juga merupakan tanda lemahnya representasi. Mereka yang berkuasa umumnya dipandang lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan bekerja untuk rakyat sehingga muncul pendapat, siapa pun yang berkuasa, keadaan tidak akan berubah.
Kondisi ini membuat sebagian rakyat melihat pilkada bukan sebagai momentum untuk memilih pemimpin yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka, namun merupakan saat suara rakyat dibutuhkan untuk mengantarkan seseorang menjadi elite politik. Karena itu, mereka merasa berhak mendapatkan upah atas dukungan yang diberikannya kepada (seorang) calon.
Akhirnya, berbagai praktik yang berbau politik uang ini, baik yang dilakukan langsung maupun tidak, tersamar atau terang-terangan, membuat politik menjadi mahal. Biaya yang dikeluarkan seorang calon kepala daerah di Jawa, sejak berniat mencalonkan diri hingga pilkada usai, diyakini lebih dari Rp 100 miliar. Padahal, gaji gubernur, lengkap dengan berbagai tunjangannya, sebulan kurang dari Rp 100 juta, atau Rp 1,2 miliar setiap tahun. Kekurangan biaya investasi itu bisa memunculkan korupsi dalam jabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar