Sabtu, 15 Mei 2010

sistem parlementer

sistem parlementer

Dalam sistem parlementer, saat dukungan suara di parlemen tidak cukup setengah tambah satu, maka perdana menteri bersama kabinet pemerintahannya harus mundur!” ujar Umar. “Dalam sistem ‘presiden-sial’ hal itu tidak berlaku! Namun, jika setiap kali apa yang dikehendaki presiden dikecundangi parlemen, tidak bisa dimungkiri sistem pemerintahannya berubah intonasi menjadi ‘presiden-sial’!”

“Itu bisa terjadi ketika lobi pemerintah lemah di parlemen sehingga nasibnya seperti lebai malang–antre minyak tanah di pangkalan saat dapat giliran minyaknya habis, pindah ke pangkalan lain ketika sampai malah antreannya sudah bubar!” sambut Amir. “Gambaran itu terlihat pada pekan terakhir, dua kehendak pemerintah dalam hal ini presiden dikecundangi DPR! Pertama, pada RUU Pemilu terkait penghitungan sisa suara dan patokan threshold, hingga Mensesneg harus melapor Presiden dahulu sebelum DPR mengetuk palu! Kedua, calon gubernur Bank Indonesia yang diajukan Presiden ditolak DPR!”

“Jika preseden ini berkelanjutan, bukan mustahil pemerintah dalam hal ini eksekutif tidak bisa lagi mengelola negara secara maksimal!” tukas Umar. “Sebab, apa saja yang diidealkan atau dianggap terbaik oleh eksekutif selalu terjegal di legislatif!”

“Dengan begitu konsekuensinya jelas tidak sepele!” timpal Amir. “Di antaranya, dua pilar utama negara–eksekutif dan legislatif–terjebak dalam situasi antagonistis! Di negara liberal seperti Amerika, situasi seperti itu sering terjadi dan dianggap biasa karena selain Gedung Putih punya West Wing–tempat jago-jago lobi ke parlemen, oposan juga sangat hormat pada arah pendapat umum terutama yang terbentuk lewat polling atau survei! Jika masalah yang dihadapi menyangkut aspirasi publik dan kepentingan nasional, mereka tidak asal gebuk setiap yang datang dari eksekutif! Beda parlemen sini, justru alergi pada survei pendapat umum! Survei sejenis quick count saja dihambat jadwal penyiarannya!”

“Masalah yang di negara lain bukan masalah, tapi di sini justru jadi biang kerok terlihat dalam koalisi partai pendukung pemerintah dalam dua kasus kekalahan pemerintah di parlemen tadi!” tukas Umar. “Yang relatif masih solid tinggal Fraksi Partai Demokrat dan Golkar! PKS malah ikut PDI-P, sejak awal menolak dua calon gubernur BI yang diajukan pemerintah! Sedang PAN, PPP, PKB yang koalisinya diperkuat jatah menteri di kabinet, melenggang dengan agenda masing-masing! Padahal di negara lain, tanpa suatu konflik nyata yang terbuka hingga bisa dijadikan alasan pecah kongsi, jarang terjadi partai meninggalkan koalisi secara diam-diam!”
“Keanehan dan tiadanya standar gaya permainan politik di negeri kita itulah yang bisa membuat antagonisme eksekutif-legislatif nasional itu jadi blunder lebih buruk bagi kehidupan berbangsa!” timpal Amir. “Bayangkan ketika depresi sedang menggelinding hingga menuntut langkah-langkah cepat untuk mengantisipasinya, ternyata tanpa peduli ancaman seperti apa yang siap menerkam, setiap langkah yang diajukan eksekutif langsung dijegal legislatif!”

“Meski demikian, harapan agar para aktor politik kita menyadari itu mungkin sia-sia!” tegas Umar. “Entah bagaimana penilaian partai-partai yang diam-diam meninggalkan koalisi itu terhadap kinerja pemerintah, tapi terkesan hal itu mereka tempuh menjelang pemilu yang makin dekat ini karena enggan partainya dikaitkan dengan realitas kinerja pemerintah! Kesan seperti itu yang ingin ditonjolkan pada tahap ini! Namun, jika pada saatnya kinerja pemerintah ternyata bagus, semudah membalik telapak tangan pula mereka mengklaim sukses itu sebagai sukses partainya! Aneh, tapi bisa jadi kenyataan!”

Sumber
www.detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar