Sistem campuran bisa digunakan untuk memecahkan masalah
Praktek ratifikasi di Indonesia didasarkan pada landasan juridis konstitusional UUD 1945 pasal 11 ayat 1 yang berbunyi “priseden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang , membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain”. Mengenai kata perjanjian tersebut masih bersifat umum dan didalam penjelasan UUD 1945 juga ditemukan kriteriannya ( hanya disebutkan kedudukan presiden sebagai kepala Negara ). Untuk itu pada tanggal 22 agustus 1960 , presiden Soekarno mengirim surat No. 2826HK/60 , perihal perbuatan perjanjian dengan Negara lain kepada DPR. Inti surat tersebut adalah bahwa suatu perjanian akan meminta persetujuan DPR , jika hal tersebut bersifat penting. Akan tetapi , jika perjanjian mengandung materi laincukup diberitahukan kepada DPR aja.
Praktek-praktek demikian telah lazim dilaksanakan di Indonesia dan disebut dengan sistem campuran. Sistem ini biasa dibuat untuk perjanjian seperti treatis atau agreement. Berikut ini contoh yang dapat dikemukakan :
a. Persetujuan Indonesia-Belanda mengenai penyerahan irian barat ( sekarang ini Irian Jaya ) yang ditanda tangani di New York , 15 Januari 1962 disebut agreement. Akan tetapi , kerna pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut masa dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya , prisedent memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk pernyataan pendapat.
b. Perjanjian antara Indonesia-australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta , 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun karna pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut maka pengesahan memerlukan persetujuan DPR dan dituangkan dalam bentuk UU yaitu UU no 6 tahun 1973.
c. Persetujuan garis batas landas kontiten antara Indonesia dan singapura tentang selat singapura ( 22 mei 1973 ) sebenarnya materi ini cukup penting , namaun dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk keputusan presiden.
Jadi , apabilapresident ingin memutuskan sesuatu bisa membutuhkan pengesahan DPR bisa juga tidak membutuhkan pengesahan DPR tergantung masalah yang di hadapinya. Kalau membutuhkan pengesahan DPR maka keputusan tersebut disebut agreement.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar